Infoparlemensukabumi.com||Pada hari Rabu, 22 Mei 2024, ada unjuk rasa yang dilakukan oleh tiga organisasi profesi wartawan atau jurnalis di depan gedung DPRD Kota Sukabumi. Mereka menolak revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang saat ini dibahas di DPR RI.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Biro Sukabumi, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sukabumi Raya, dan Persatuan Wartawan Infonesia (PWI) Kota Sukabumi adalah ketiga kelompok tersebut. Demonstrasi dimulai di Balai Kota Sukabumi dan bergerak mundur menuju gedung Dewan Perwakilan Rakyat.
Perwakilan massa aksi berbicara bergantian tentang penolakan mereka terhadap revisi UU Penyiaran, yang mereka katakan akan mempersempit kebebasan jurnalis. Hak publik atas informasi dan kemerdekaan pers di Indonesia dianggap melanggar beberapa pasal.
Handi Salam, perwakilan AJI Biro Sukabumi, menyatakan bahwa revisi UU Penyiaran ini akan membawa masa depan jurnalisme tanah air menuju kegelapan.
Handi berpendapat bahwa pemerintah ingin mengontrol terlalu banyak (overcontrolling) ruang gerak rakyatnya. Revisi ini juga melanggar prinsip negara demokratis yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Sementara itu, Apit Haeruman, Ketua IJTI Sukabumi Raya, mengatakan bahwa revisi UU Penyiaran membatasi kemerdekaan jurnalis. RUU tersebut juga dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan antara Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Dengan senang hati kami diterima dengan baik oleh beberapa anggota dewan perwakilan DPRD Kota Sukabumi. Peserta aksi lainnya menyatakan, “Surat pernyataan yang kami berikan akan difaksimilikan ke DPR RI. Mudah-mudahan ini menjadi salah satu upaya melawan pembungkaman kemerdekaan pers.”
Menurut Jona Arizona, Wakil Ketua DPRD Kota Sukabumi dari Fraksi Partai Golkar, revisi UU Penyiaran masih dalam proses pertimbangan di Komisi I DPR RI sebelum disampaikan ke Badan Legislasi DPR RI. Jona mengatakan bahwa rencana serupa telah muncul pada tahun 2012, tetapi tidak dilaksanakan.
Saat ini, jurnalis di seluruh Indonesia berbagi keinginan yang sama. Dia menyatakan bahwa Panitia Kerja (Panja) Komisi I DPR RI menyampaikan langkah-langkah selanjutnya kepada Badan Legislasi DPR RI karena langkah-langkahnya sangat panjang dan menghasilkan sinkronisasi dan harmonisasi. Dengan demikian, UU 32 Tahun 2002 tidak serta merta dapat direvisi.
Menurut Jona, DPRD Kota Sukabumi menerima keinginan jurnalis. Surat pernyataan yang ditandatangani oleh pihak tersebut telah dikirim ke Komisi I DPR RI. “Kami pimpinan sejalan dengan aspirasi kawan-kawan.” Dia menyatakan bahwa DPRD Kota Sukabumi mendukung sepenuhnya dan akan menandatangani dan menyampaikan kepada DPR RI sebelum sinkronisasi dan harmonisasi di Baleg DPR RI.
Mengutip siaran pers AJI, berikut beberapa pasal dalam revisi UU Penyiaran yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi:
Pasal 50B ayat (2)
- Larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
- Larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender.
- Larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik.
Pasal 8A huruf q
- Menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran.
Pasal 42
- Muatan jurnalistik dalam Isi Siaran Lembaga Penyiaran harus sesuai dengan P3, SIS, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
- Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Adapun catatan kritisnya adalah sebagai berikut:
Pertama, larangan terhadap penayangan eksklusif jurnalistik merupakan wujud keengganan pemerintah dalam melakukan pembenahan pada penyelenggaraan negara. Alih-alih memanfaatkan produk jurnalistik investigasi eksklusif sebagai sarana check and balances bagi berlangsungnya kehidupan bernegara, pemerintah justru memilih untuk menutup kanal informasi tersebut. Hal ini bukan fenomena yang mencengangkan mengingat kultur pemerintahan Indonesia yang anti-kritik, tidak berorientasi pada perbaikan, dan enggan berpikir.
Kedua, larangan terhadap penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual, dan transgender merupakan wujud diskriminasi terhadap kelompok LGBTQ+, yang dapat semakin mempersempit ruang-ruang berekspresi sehingga melanggengkan budaya non-inklusif dalam kerja-kerja jurnalistik.
Ketiga, Pemerintah menggunakan kekuasaannya secara eksesif melalui pasal-pasal pemberangus demokrasi berdalih perlindungan terhadap penghinaan dan pencemaran nama baik yang semakin dilegitimasi melalui RUU Penyiaran. Alih-alih mempersempit ruang kriminalisasi bagi jurnalis maupun masyarakat pada umumnya, eksistensi pasal elastis ini justru semakin diperluas penggunaannya.
Keempat, pemerintah berusaha mereduksi independensi Dewan Pers dan fungsi UU Pers. Pasal 8A huruf q juncto 42 ayat (1) dan (2) pada draf revisi UU Penyiaran menimbulkan tumpang tindih antara kewenangan KPI dengan kewenangan Dewan Pers. Pasal tersebut juga menghapus Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sebagai rujukan dalam menilai siaran-siaran produk jurnalistik, mengalihkan penilaian menggunakan P3 dan SIS. Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum pada mekanisme penyelesaian sengketa pers.